Sunday, October 25, 2009

No Pedestrian City (Kota tanpa Pejalan Kaki)*

Yusnita Achmad, S.Pd.

“Aduh, panas juga. Kok mirip Bekasi?” Itulah kesan pertama saya datang ke kota ini. Tidak seperti Jakarta yang mempunyai kemiripan cuaca dengan Pontianak, kota yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Parit ini, tidak mempunyai seribu atau lebih area untuk pejalan kaki. Pertanyaan tentang pejalan kaki pernah saya utarakan kepada kawan saya. Jawabannya adalah karena panas, tidak akan banyak orang yang berjalan kaki. Kondisi ini menyebabkan penyediaan fasilitas umum untuk pejalan kaki yang tidak begitu banyak. Yang ada pun tidak terlalu digunakan dengan efektif. Ya itu tadi karena hampir tidak ada orang yang rela berpanas-panas dengan berjalan kaki. Semua orang pasti berkendara baik motor maupun mobil. Jika dipandang dari konsep kehidupan kota seperti ini, maka Pontianak dapat dikatakan tidak berpihak pada pejalan kaki.

Kisah pejalan kaki

Selama hampir tiga tahun saya dan kedua kawan saya berjalan kaki dari rumah menuju kantor, banyak suka duka yang kami alami. Terutama dukanya, dari diklakson oleh mobil yang tidak sabar menunggu kami yang berjalan lambat sampai ada yang hampir menyerempet tidak jarang kami alami. Memang benar kami berjalan dijalur yang dilalui kendaraan. Hal tersebut kami lakukan karena memang tidak ada trotoar atau ruang untuk pejalan kaki. Aktifitas jalan kaki kami pilih karena tidak adanya akses transportasi dari rumah kemanapun tempat yang ingin kami tuju. Selain sekalian olah raga, jalan kaki juga pilihan bagi saya yang tidak punya kendaraan dan trauma dalam berkendara di kota Pontianak.

Selain kisah kami, banyak lagi kisah pejalan kaki yang tidak diperlakukan sopan oleh pengendara. Salah satunya adalah kisah yang disampaikan oleh kawan saya saat ibunya ditabrak oleh sebuah motor ketika beliau menyeberang jalan di depan sebuah kantor di jalan Ahmad Yani. Akibat kecelakaan tersebut, si ibu mengalami patah tulang di bagian tangan dan kakinya. Alhamdulillah, sekarang beliau telah sembuh setelah lebih dari lima bulan melewati masa pengobatan dan terapi berjalan. Memang benar beliau menyebrang tidak pada tempatnya karena memang tidak ada tempat untuk menyeberang. Sejauh pengamatan saya, memang tidak begitu banyak bahkan hampir tidak ada zebra cross atau tempat penyeberangan untuk pejalan kaki di kota Pontianak. Baik di jalan utama seperti jalan Ahmad Yani maupun jalan-jalan di setiap sudut kota, penyeberang harus mempunyai ‘keahlian khusus’ dalam menyeberang. Mengapa saya katakan keahlian khusus? Saya katakan demikian karena toleransi pengendara yang sangat kurang. Kebanyakan pengendara tidak mau menghentikan atau setidaknya memperlambat laju kendaraannya saat ada orang di depannya yang menyeberang. Dengan demikian, penyeberang jalan harus mempunyai strategi bagaimana menyeberang dengan selamat. Seperti di depan jalan Media yang berseberangan dengan jalan Perdana. Bisa diperkirakan, aktifitas orang menyeberang di daerah tersebut sungguh tinggi sehingga sewajarnya pengendara sudah tahu dan mengerti kondisi tersebut. Namun, tetap saja ketika menyeberang saya bisa rasakan bahwa mereka tidak mau mengalah dan menganggap orang yang menyeberang adalah pengganggu mulusnya laju kendaraan mereka. Sungguh tidak adil.

Tidak ada salahnya berjalan kaki.

Namun tidak demikian di Pontianak. Seperti pernyataan kawan-kawan saya yang sudah lama tinggal di Pontianak, “Orang Pontianak itu kalau tidak punya kendaraan seperti tidak punya kaki.” Mendengar hal tersebut, saya pun tertawa. Jika demikian, saya termasuk orang yang tidak punya kaki. Namun pernyataan kawan saya yang lain cukup membesarkan hati saya. Kawan saya itu iri dengan saya dan kedua kawan saya karena dia tidak mempunyai waktu untuk berjalan kaki. Dia memperhatikan kami yang selalu sehat dan bugar dalam menjalankan aktifitas keseharian kami.

Kebanyakan orang Pontianak melakukan aktifitas yang seharusnya bisa dilakukan dengan berjalan kaki, dilakukan dengan menggunakan kendaraan. Pergi ke suatu tempat dengan jarak 100-200 meter saja harus menggunakan kendaraan. Berdasarkan penelitian pakar-pakar kesehatan Amerika Serikat, berjalan kaki sangat banyak manfaatnya, baik dilakukan dalam aktifitas sehari-hari maupun olah raga. Berjalan kaki baik untuk jantung, mengurangi risiko kanker payudara, membuat tidur lebih nyenyak, membuat bahagia, mengurangi rasa sakit atau nyeri, membuat langsing, awet muda, dan mengurangi keropos tulang. Oleh karena itu, kita disarankan untuk berjalan kaki minimal sepuluh ribu langkah setiap hari. Selain sehat, berjalan kaki juga mampu mengurangi polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.

Harapan di ulang tahun yang ke-238

Pemerintah kota diharapkan sejenak mengalihkan pandangan pada fasilitas-fasilitas kota yang berhubungan dengan masalah lintasan khusus untuk pejalan kaki, baik trotoar, zebra cross, maupun lampu lalu lintas. Bukan hanya untuk sarana olahraga, tetapi juga untuk aktifitas sehari-hari seperti pergi bekerja, berbelanja, maupun jalan-jalan santai. Sebenarnya, jika pemerintah kota mau menyediakan fasilitas-fasilitas umum untuk pejalan kaki walaupun sedikit tetapi efektif dalam penggunaannya dan perawatannya, kemungkinan buruk tidak akan terjadi. Selain itu, perlu adanya imbauan tentang toleransi para pengendara kepada pejalan kaki mengingat keselamatan pejalan kaki adalah hal utama bagi pengendara.

Pembatasan jalur kendaraan roda empat dan roda dua sudah dilakukan oleh pihak kepolisian yang berwenang dalam mengatur lalu lintas kota, terutama di jalan utama Ahmad Yani. Hal tersebut sungguh membantu pejalan kaki ketika menyeberang jalan yang luar biasa luasnya. Jika diukur, luasnya mungkin mampu menampung 4 sampai 5 mobil yang disusun dari satu sisi jalan ke sisi yang lainnya. Namun, tetap saja program kepolisian ini tidak diikuti dengan kesadaran yang penuh oleh pengendara khususnya pengendara motor. Suatu ketika saya akan menyeberang, tiba-tiba ada sebuah motor yang mengambil jalur mobil yang saya lihat tadi sudah kosong. Spontan saya urungkan niat saya untuk menyeberang dan berdiri terpaku sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat motor tadi. Oh, Tuhan.

Selain itu, fasilitas zebra cross dan lampu lalu lintas juga harus ditingkatkan lagi penyediaan dan penggunaannya. Di satu sudut kota, ada satu persimpangan empat jalan yang tidak dilengkapi zebra cross dan lampu lalu lintas. Dua sisi masih memiliki lampu lalu lintas yang berdiri tegak dan berfungsi baik sedangkan dua sisi lainnya tidak ada lampu sama sekali. Hasilnya, kekacauan tidak dapat dihindari. Hal seperti ini membuat saya miris melihatnya. Padahal untuk tata kota yang baik, fasilitas-fasilitas umum yang bertujuan untuk keselamatan dan kenyamanan pengguna jalan harus menjadi perhatian utama pemerintah kota.

Mudah-mudahan pemerintah kota Pontianak mau mendengar keluhan-keluhan masyarakatnya. Apalagi dalam rangka pesta ulang tahun kota Pontianak yang ke-238, yang berarti sedang bersenang-senang merayakan pertambahan umur, kota Pontianak juga harus semakin dewasa dan bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang terjadi. Selain itu, kota Pontianak harus semakin bersemangat dalam berbenah diri dan mempercantik wajah kota sebagai ikon dan ibukota provinsi Kalimantan Barat. Dirgahayu Kota Pontianak! Dirgahayu kotaku! Jayalah selalu!


*Artikel ini diterbitkan di Surat Kabar lokal Borneo Tribune dalam Edisi Khusus menyambut hari Ulang Tahun ke-238 Kota Pontianak

No comments:

Post a Comment