Friday, February 20, 2009

Pertigaan Purnama

Peristiwa itu berawal ketika aku sedang berada di pelataran belakang rumah kos, tempat tinggalku di Pontianak. Pak Soleh, pemilik rumah kos, mendesain pelataran belakang rumahnya yang luas untuk kebun, tempat jemuran dan tempat cuci piring khusus untuk anak-anak kosnya. Menurut beliau, tujuan membangun eksterior rumah seperti itu agar dapat digunakan anak-anak kos untuk bercengkrama sambil mengerjakan aktivitasnya masing-masing di tempat itu. Selain menyediakan kamar kos untuk perempuan, Pak Soleh juga menyediakan kamar kos untuk laki-laki dengan lantai yang terpisah. Lantai satu berisi kamar-kamar untuk perempuan dan lantai dua untuk laki-laki. Di Pontianak, banyak sekali bentuk kos-kosan yang campur seperti ini. Namun, tidak sedikit pula yang menyediakan kamar kos khusus perempuan atau laki-laki. Seperti di kota-kota lainnya di Indonesia, penghuni-penghuni kamar kos berasal dari luar daerah sebagai mahasiswa atau pekerja seperti aku.

Suatu sore yang cerah, ketika aku sedang memilih pakaian yang sudah kering dan mengatur kembali pakaian yang belum kering agar bisa dijemur kembali besok pagi, seorang teman kos ku datang dan menyapaku.

“Hai, Kak. Angkat jemuran ke?”

“Iya. Lumayan hampir semua pakaianku kering. Ma, sore ini cerah. Enaknya ngapain yah?”

Temanku menjawab, “Kalau kamek biasanya jalan-jalan keliling Pontianak ramai-ramai, sama anak-anak kos yang lain, Kak.”

“Wah seru yah. Tapi aku nggak bisa pake motor.”

“Oh, tenang jak. Kakak bisa sama Irma.”

Lalu datang lagi kawan lainnya. Sambil membawa satu ember pakaian kotor dan satu botol bekas air mineral yang disulap menjadi tempat menyimpan detergen, Wandi ikut bicara.

“Memang Teteh mao jalan-jalan kah?”

Wandi yang berasal dari Cianjur, sudah lama tinggal di Pontianak dan menjadi penghuni kos yang paling lama, sepertinya memberikan tawaran.

“Ah, nggak lah. Aku nggak mo ngerepotin. Kalau kalian memang mao jalan-jalan, baru aku mao ikut.”

Tiba-tiba, dari dalam kos, temanku yang sama-sama dari Jakarta berteriak.

“Eh, pada mao jalan-jalan yeh? Gue ikut dong.”

Kami terdiam sejenak. Aku langsung menjawab.

“Nggak kok. Cuma ngobrol aja.”

Temanku itu, Egi namanya, tetap ingin jalan-jalan dengan memaksa Irma dan Wandi untuk mengantarnya.

“Eh, beneran nih. Gue mao ke Sungai Jawi. Kata temen kantor gue kalo mao cari barang-barang kelontongan di sana murah.”

“Mmh, gak tau yah. Irma jarang beli sih.”

“Ayo dong. Wandi, ayo anter gue. Gue butuh banget nih. Kan gue baru pindah jadi belom punya apa-apa.”

Wandi tidak begitu merespon positif rengekan Egi, “Waduh Teh, kalo saya mah gak bisa. Saya masuk malem. Ini aja mao rendam pakaian, mandi, terus berangkat kerja. Kapan-kapan aja ya Teh.”

Setelah itu, Wandi pun masuk kamar mandi.

Baik aku maupun Irma diam sejenak. Kami tidak tahu harus memulai pembicaraan kembali dari mana. Aku meneruskan memilih pakaian yang sudah kering. Keheningan sejenak itupun terpecah oleh panggilan Egi kepadaku.

“Nit, anterin gue yuk.”

Sontak aku kaget, “Hah, mao kesono pake apa, Ci. Sungai Jawi jauh, kan? Emang ada angkot yang kesono?”

“Katanya sih jauh. Tapi gak apa-apa deh. Kita pinjem motor bapak.”

“Emang lo bisa, Ci? Terus terang gue si gak bisa. Jadi gue cuma nemenin lo aja yeh.”

“Masak sih lo gak bisa?”

“Bisa sih tapi cuma di sekitar komplek aja. Kalo ke jalan besar, nggak deh. Gue takut.”

“Ah, gak apa-apa. Lo pasti bisa. Sekalian lo belajar. Gue si bisa tapi gue masih lemes banget nih. Gue kan abis sakit. Gimana, Nit? Temenin gue yeh.”

Jantungku mendadak dag dig dug berulang kali. Tapi, kata-kata Egi bener juga. Kalo gak belajar sekarang kapan lagi. Lagian, katanya Sungai Jawi itu lurus aja jalannya kalo dari arah jalan Sutoyo.

“Iya deh.”

“Asyik. Siap-siap yeh. Ntar gue deh yang bilang ke bapak.”

Kami pun berangkat mengendarai motor pinjaman dari bapak kos. Motor Yamaha keluaran tahun lama yang sudah tidak bagus lagi tampilannya tapi cukup bisa berjalan. Cuma suaranya saja yang nggak nahan. Berisik banget. Apalagi kalo mau belok, pasti bunyi alarmnya juga berisik.

Dari rumah, aku menjalankan motor itu dengan aman-aman saja. Saat belok keluar gang pun aku lakukan dengan mulus walaupun jantungku masih menari. Masuk jalan yang agak lebih besar dan melewati pertigaan pun masih bisa aku lakukan dengan mulus bin lancar. Aku mulai tenang dan sudah bisa berkendara sambil mengobrol plus ketawa-tawa dengan Egi.

Eng ing eng…jreng…nah loh. Saat motor keluar dari jalan Karya Baru menuju pertigaan Purnama, jantungku mulai bergerak lagi. Gerakannya seperti tepukan tari tari Saman, gerakan pelan berubah menjadi gerakan yang cepat sekali. Waduh, gimana nih. Semua pelajaran singkat yang diajari Irma sebelum berangkat tadi, tidak ada satupun yang diingat. Aku mulai panik. Waduh, gimana nih. Ah pede aja ah.

Pada saat itu kondisi jalanan memang sedang ramai. Dari arah jalan Purnama, rombongan mobil dan motor sedang menunggu datangnya rombongan kendaraan dari arah jalan Sumatera. Ada beberapa detik ketika jarak lumayan lebar di antara satu mobil dengan mobil lainnya terbuka di hadapanku. Kesempatan itulah yang aku gunakan untuk menerobos melewati kendaraan-kendaraan yang ada di kanan dan kiriku. Tanpa menoleh dan terus terfokus pada jarak kosong tadi, tanpa menginjak rem, aku terus tancap gas yang sejak dari rumah sampai ke pertigaan aku terus lakukan.

Walaupun takut, aku tetap percaya diri bahwa aku bisa melewati ruang kosong dan terus berjalan ke arah jalan Sumatera. Ternyata, perasaan itu membawa kesalahan besar. Aku kaget ketika setelah melewati sebuah mobil, ada rombongan motor yang maju kearahku. Spontan aku langsung injak rem. Ternyata posisi motorku tidak pas saat melewati mobil. Hasil dari dua kejadian itu, ban belakang motor menyenggol trotoar yang ada ditengah jalan. Motor pun jatuh ke arah kanan. Gerakan yang keras dan tiba-tiba membuat pedal rem bengkok dan kaca lampu depan pecah karena membentur trotoar tadi. Egi pun marah besar.

“Gimana sih, lo? Gue kira lo bakalan berenti dulu. Namanya pertigaan, kudu berenti dulu baru jalan kalo dah kosong. Untung lo gak terus ngegas. Kalo iya, gue bisa mental ke seberang. Bisa kelindes mobil. Mati deh gue.”

Sambil terus ngomel, aku mendorong sekuat tenaga motor yang nggak bisa jalan karena terganjal pedal yang bengkok. Aku hanya bisa terus menertawai kebodohanku dan berusaha menenangkan diri untuk bisa berfikir jernih.

“Maap, Ci. Tenang aja. Kita cari bengkel. Bentar, gue balikin dulu ni pedalnya. Nanti gue yang dorong deh. Gue deh yang bayar. Gue juga deh yang bilang ke bapak.”

“Ya udah! Bikin dia bisa jalan dulu! Bengkelnya jauh. Sini, gue aja yang bawa. Kaki gue sakit nih tapi terpaksa deh daripada gue celaka lagi.”

Akhirnya, kami meneruskan perjalanan. Egi terus cemberut sampai kami pulang. Waktu hampir menjelang magrib ketika kami sampai di rumah dengan selamat. Alhamdulillah.

Itulah pengalaman berharga yang harus aku ambil untuk bisa bertahan hidup di Kalimantan. Bayangan tentang Kalimantan, ketika aku masih di Jakarta, yang banyak hutan dan panas memang benar adanya. Saking luas dan hawa panas yang menyengat, setiap orang yang aku jumpai di jalan pasti sedang mengendarai kuda besinya. Dari anak usia Sekolah Dasar sampai orang usia lanjut, baik perempuan maupun laki-laki, semua mampu berkendara. Minimal motor atau sepeda harus dimiliki karena orang tak akan mampu dan sudi mandi keringat oleh sinar matahari dan jauhnya perjalanan. Lebih ekstrim lagi, “Kalo nda ada motor seperti nda punya kaki”, seperti yang aku kutip dari “pepatah” teman kantorku. Bahkan sering aku lihat, banyak wanita karir yang biasa mengenakan sepatu hak tinggi dan lancip mahir sekali mengendarai motor berkopling. Wah, hebat! Sungguh pemandangan yang tidak biasa aku lihat di tanah kelahiranku, Jakarta.

Saat peristiwa di pertigaan Purnama itu terjadi, aku baru sebulan tinggal di Pontianak. Aku belum punya banyak kawan sehingga, sebagai pendatang, hanya berjalan kaki yang bisa dan harus aku lakukan. Bukan hanya karena tidak punya motor, mengendarainya saja aku belum bisa. Maklum, fasilitas kendaraan yang dimiliki Jakarta telah bertahun-tahun membuaiku untuk tidak perlu belajar mengendarai motor. Peristiwa itu membuat trauma berkepanjangan bagi aku untuk belajar mengendarai motor lagi. Jika tidak diantar kawan, aku tetap berjalan kaki ke kantor sejauh lebih dari satu kilometer baik pergi maupun pulang. Aktivitas itu tetap aku jalani selama lebih dari dua tahun, yakni dari tahun 2006 sampai sekarang.

Belajar Kosakata

Oleh Yusnita Achmad, S.Pd.


Kosakata atau vocabulary merupakan satu di antara unsur bahasa yang biasa kita gunakan dalam berkomunikasi. Kita tidak mampu untuk menghafalnya satu per satu baik bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris karena jumlahnya sangat banyak. Tercatat jumlah kosakata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi Keempat yang disusun Pusat Bahasa mencapai lebih dari 90.000 kosakata.1 Namun, ada satu cara yang cukup mudah dalam memahami kosakata, yaitu dari kata dasar. Kita dapat memahami makna kata dari kata dasar tersebut. Artikel ini akan membahas kata bahasa Indonesia yang berhubungan dengan dunia pendidikan yakni kata ajar sebagai satu di antara kata yang mempunyai banyak bentuk turunan. Berikut contohnya.

Menurut KBBI, kata ajar berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut). Dari kata ajar ini, kita mengenal beberapa kata turunan yakni ajaran, pelajar, pelajaran, terpelajar, pengajar, pengajaran, belajar, pembelajar, pembelajaran, pemelajaran.

Untuk memudahkan kita memahami dan menghafal, kita harus menentukan satu kata sebagai patokan untuk menghubungkan kata lainnya. Misalnya, kata ajar dapat kita jadikan patokan untuk dihubungkan dengan kata ajaran yang artinya segala sesuatu yang diajarkan, nasihat, petuah, petunjuk. Contoh dalam kalimat: Ia senantiasa memegang teguh ajaran orang tuanya.

Kata pelajar—yang mempunyai arti anak sekolah (terutama pada sekolah dasar dan sekolah lanjutan), anak didik, murid atau siswa—dapat kita hubungkan dengan kata pelajaran yang mempunyai arti sesuatu yang dipelajari oleh pelajar atau diajarkan kepada pelajar di sekolah. Contohnya pelajaran bahasa Indonesia; daftar pelajaran. Demikian juga dengan kata terpelajar yang artinya seseorang yang telah mendapat pelajaran di sekolah.

Jika ada pelajar, maka ada pengajar yakni orang yang mengajar (seperti guru, pelatih). Proses yang dilakukan oleh pengajar dalam mengajar atau mengajarkan sesuatu dinamakan pengajaran. Contohnya Sekarang ini, pengajaran Bahasa Indonesia sudah banyak menggunakan media televisi.

Kata berikutnya adalah kata belajar. Kata ini mempunyai arti umum sebagai kegiatan berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu. Contohnya: Adik belajar membaca. Kalimat ini mengandung arti Adik sedang berusaha memperoleh kepandaian membaca. Oleh karena itu, adik disebut sebagai pembelajar yakni orang yang mempelajari ilmu membaca. Proses atau cara belajar membaca yang dilakukan adik disebut dengan pembelajaran. Namun, perkembangan istilah-istilah dalam dunia pendidikan sangat berperan di dalam perubahan penggunaan kata pembelajar dan pembelajaran ini. Kata pemelajar diartikan sama dengan orang yang mempelajari sesuatu ilmu, yakni siswa atau murid di dalam proses pemelajaran. Sedangkan kata pembelajar diartikan sama dengan pengajar atau orang yang membelajarkan ilmu kepada pemelajar di dalam proses pembelajaran atau pengajaran. Perhatikan contoh berikut: Dalam proses belajar dan membelajarkan terdapat tiga unsur, yaitu pemelajar (orang yang belajar), pembelajar (orang yang membelajarkan), dan bahan pelajaran.2

Ada contoh lain yang menempatkan kata ajar dalam istilah pendidikan. Istilah bahan pelajaran diartikan sebagai informasi yang disusun secara sistematis dengan metode tertentu dalam suatu bidang ilmu, disajikan dan dikemas dalam bentuk media cetak maupun noncetak yang dijadikan sebagai sumber informasi dalam belajar atau pembelajaran oleh pemelajar dan pembelajar untuk mencapai suatu tujuan belajar atau pembelajaran.

Setelah membaca artikel ini, Anda telah menambah kurang lebih enam belas kata yang berhubungan dengan dunia pendidikan dalam perbendaharaan kosakata bahasa Indonesia. Mudah-mudahan pengetahuan Anda akan bertambah dengan mengaplikasikan cara belajar yang sama dengan kosakata yang berbeda. Semoga berhasil!

Sumber:

1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Edisi Keempat, Cetakan Pertama, 2008.

2. Penyusunan Buku Pelajaran, B.P. Sitepu, 2006.