Wednesday, April 22, 2009

Perjalanan ke Sintang

Goyang kiri……goyang kiri……Goyang kanan……goyang kanan……Putar ke kiri…putar ke kanan…….Petikan bait lagu anak-anak yang dulu sering aku nyanyikan, kembali aku dendangkan sepanjang jalanku ke daerah Sintang. Kondisi jalan yang unik, berlubang sebesar kaki hewan purba membuat bis dan seluruh isinya menari. Goyang ke kanan, goyang ke kiri, tetapi tentu saja tidak berputar.

Ini kali pertama aku pergi ke daerah yang lebih jauh dari daerah yang pernah aku kunjungi sebelumnya di Kalimantan Barat. Sebelumnya aku pernah ke daerah Sambas, Ngabang dan Mempawah. Waktu itu perjalanan masing-masing daerah tersebut hanya ditempuh selama 6 jam ke Sambas, 4 jam ke Ngabang, dan 1 jam 30 menit ke Mempawah jika dihitung dari Pontianak. Perjalanan ke Sintang ini menempuh lebih kurang 12 jam dengan kecepatan rata-rata 40-60 km/jam untuk kendaraan besar dan kondisi jalan yang tidak stabil.

Namun, beruntung aku bisa mengambil perjalanan dari pagi yakni pukul 08.00 dari Pontianak. Jadwal yang disediakan bis Damri hanya dua. Berangkat pukul 08.00 pagi akan sampai Sintang pukul 20.00 malam, dan berangkat pukul 19.30 malam akan tiba pukul 07.00 atau 08.00 pagi. Selain berharap tidak akan bermalam di dalam bis Damri jika aku mengambil jadwal malam hari, aku juga ingin menikmati pemandangan sepanjang jalan ke Sintang yang baru pertama kali aku lewati.

Perjalanan sangat menyenangkan sejak aku dan kawanku berangkat. Suasana pagi yang cerah dan pemandangan sepanjang daerah Siantan. Kilauan padi yang menguning memantulkan cahaya matahari di sepanjang jalan menuju daerah Anjungan, bukit hijau yang menambah kontras warna pesawahan di sepanjang jalan di kecamatan Sengah Temila. Hatiku pun tercerah dengan paduan alam yang begitu indah itu. Jalan aspal masih terasa mulus sampai di kota Ngabang. Aku sudah sedikit hafal dan menikmati perjalanan dari Pontianak ke Ngabang karena perjalanan ini untuk yang kedua kalinya. Dua minggu yang lalu tepatnya minggu pertama bulan Maret aku menjalankan tugas dari kantor untuk sosialisasi UKBI di Dinas Pendidikan di kota Ngabang, Kabupaten Landak.

Waktu itu perjalanan tidak terlalu kunikmati karena aku melintas daerah itu pada malam hari. Ketika malam, aku tidak bisa sama sekali melihat indahnya pemandangan Gunung Seha yang katanya ‘agak menyeramkan’. Ya, memang. Gunung Seha ketika malam, menurutku, seram sekali dimana jalan raya seperti di selimuti balutan pohon-pohon raksasa dan gumpalan semak belukar. Aku terbayang-bayang apa jadinya aku jika aku ada di gunung itu sendirian. Sungguh mengerikan. Mudah-mudahan hal itu tidak terjadi. Namun, ketika aku melewatinya di siang hari, memang benar-benar indah, sejuk dan segar. Udara yang dingin menambah kenyamanan orang yang melintasinya. Dari nama Gunung Seha, menurutku, sebenarnya tidak terlalu berbentuk gunung melainkan lebih menyerupai bukit. Oleh karena itu, apabila bisa disamakan dengan konsep daerah yang sama di pulau Jawa, aku bisa merasakan saat melewati Gunung Seha seperti ketika aku melewati perbukitan di daerah Sumedang menuju Bandung atau daerah Cianjur baik menuju kawasan Puncak Bogor maupun arah sebaliknya, yakni Bandung. Dari tikungan-tikungan yang hampir curam, struktur jalan yang menanjak dengan jurang-jurang yang sudah siap melahap siapa saja yang jatuh di sana sampai pada suasana sepanjang kanan dan kiri jalan yang di tutupi pepohonan dan rumah penduduk.

Selain itu, keunikan yang sama pula, kios-kios yang menjual hasil hutan di sekitar gunung atau bukit. Ketika aku mengunjungi rumah nenekku di daerah Lembang Bandung, banyak sekali para penjual kelinci baik untuk dipelihara maupun untuk disantap di sepanjang jalan menanjak menuju Lembang. Kita dapat merasakan sate kelinci di sana. Di daerah Cianjur, banyak di jumpai penjual tapai singkong yang lebih dikenal dengan ‘peuyeum’, penjual tanaman hias, penjual buah-buahan, dan lain-lain. Gunung Seha menyajikan bahan makanan dari akar bambu yang lebih dikenal dengan ‘rebung’, buah pisang, keladi, dan lain-lain. Rebung dari Gunung Seha terkenal enak sekali, segar dan tidak pahit. Dijual sudah dalam keadaan bersih, tanpa bulu dan masih muda dengan harga hanya sekitar Rp. 5000 untuk setiap bungkusnya. Suasana unik demikian hampir terasa sama dengan daerah-daerah perbukitan yang pernah aku kunjungi di pulau Jawa. Mungkin bedanya adalah rumah penduduk. Populasi penduduk di daerah-daerah sejenis Gunung Seha di pulau Jawa agak lebih banyak aku temukan dibandingkan dengan jumlah penduduk di Gunung Seha.

Setelah melewati Gunung Seha dan Pahauman, bis pun sampai di kota Ngabang. Kota ini menimbulkan kekaguman bagiku. Daerah pemukiman yang menghiasi bukit-bukit, udara yang sejuk, suasana kota yang tidak terlalu ramai seperti ramainya kota Pontianak memberikan pengalaman lain bagiku. Kota Ngabang agak mengubah pandanganku terhadap khayalanku tentang Kalimantan. Satu hal lagi yang aku kagumi dari kota Ngabang adalah kantor Bupati Kabupaten Landak yang sangat megah. Dengan perpaduan arsitektur modern dan budaya lokal, bangunan itu berdiri sangat megah dan berhalaman sangat luas. Bangunan itu menghiasi perbukitan yang dikelilingi hutan sawit. Sekali lagi, sungguh perpaduan alam yang sangat indah.

Perjalanan pun dilanjutkan hingga bis ku berhenti di Simpang Sosok. Waktu telah lewat tengah hari sekitar pukul 14.00. Aku dan kawanku pun turun untuk menghirup udara segar dan memenuhi panggilan alam, ke toilet. Kami dan penumpang lain melakukan hal yang hampir sama. Persinggahan kami di akhiri setelah kami selesai makan. Nah, hal makan juga membuat aku takjub. Ketakjuban itu sebenarnya sudah dimulai sejak pertama kali kami singgah di daerah Sengah Temila. Waktu itu kami harus membayar Rp.15.000,- hanya untuk semangkuk bakso dan secangkir teh manis. Di Sosok, aku harus membayar Rp.21.000,- untuk setengah piring nasi, satu potong daging, dan kuah sayur nangka dengan secangkir teh manis. Aduh, memang mahal sekali. Namun, aku paham. Mahalnya harga makanan itu disebabkan oleh kondisi daerah yang jauh dari perkotaan. Mungkin saja bahan pangan tersebut banyak yang dikirim dari Pontianak bahkan bisa jadi dari negara lain, misalnya Malaysia. Karena dari Simpang Sosok itu terdapat akses mudah menuju Kuching Malaysia.

Ketika kami beristirahat setelah makan siang, lamunanku membawaku kepada imajinasiku melewati jalan bagus menuju akhir dari jalan itu. Hanya dengan menggunakan transportasi darat aku bisa dengan mudah mencapai negara lain, ya negara lain. Begitu mudahnya apalagi jika aku sudah mempunyai surat izin atau paspor. Akan seperti apakah perasaanku ketika menginjakkan kaki di tanah Malaysia? Bagaimanakah suasana negeri itu? Sama atau bedakah dengan negeriku? Pertanyaan-pertanyaanku itu menghiasi atas kepalaku, sedikit lebih tinggi di atas kain lembut jilbabku. Seketika pertanyaan-pertanyaan itu kabur saat kawanku mengajakku membayar makanan yang sudah kami habiskan. Kami tidak boleh lama beristirahat dan harus segera beranjak karena sang supir telah memperingatkan dengan teriakannya tanda kami harus melanjutkan perjalanan. Waktu yang disediakan selama 30 menit sudah dianggap cukup kami terima untuk makan siang, istirahat dan salat dzuhur. Supir tidak boleh memperlambat perjalanan dengan memperbanyak waktu istirahat karena ia dan asistennya harus tiba tepat waktu di tempat tujuan, Sintang. Di Sintang nanti, bis sudah ditunggu oleh petugas pengawas dan penumpang untuk kemudian melanjutkan perjalanan kembali ke Pontianak.

Sejak keluar dari Kabupaten Landak perjalanan yang mengocok perut memang sudah dimulai. Namun, perjalanan berikutnya tidak kalah mengocoknya dengan perjalanan sebelumnya. Setelah kami melewati simpang Sosok lebih mengocok lagi. Perjalanan kami dimulai dengan melewati gerbang selamat datang di Kabupaten Sanggau di antara daerah perbukitan. Aku menyebut itu daerah perbukitan karena lokasi gerbang selamat datang tersebut berada di atas bukit yang apabila aku berdiri di dekat perbatasan tersebut, aku akan bisa memandang hamparan perkebunan kelapa sawit yang menghiasi perbukitan di depanku. Waktu itu, aku tidak memandang secara langsung dan menginjakkan kaki di bukit itu, melainkan aku memandang sambil duduk manis di dalam bis. Namun, aku cukup menikmati pemandangan itu dan mengaguminya sebesar keingintahuanku terhadap daerah-daerah di Kalimantan Barat.

Petualangan seru dimulai setelah kami memasuki daerah Kabupaten Sanggau. Setelah melewati gerbang selamat datang, bis melewati jalan yang tidak rata, menurun dan berbelok-belok. Di kanan kiri jalan itu terdapat dataran tinggi yang membungkus bis kami dan kendaraan lainnya. Kami seperti berada di dalam lembah di antara dua gunung batu yang cadas dan tidak banyak pepohonan atau pun semak belukar. Ada tanaman pun masih belum bisa menyejukkan hawa di sekitar jalan itu. Dengan struktur tanah yang tidak rata, berlubang dan berdebu, lengkaplah ketidaknyamanan perjalananku. Walaupun di gerbang selamat datang tadi, aku baru saja berharap akan mendapatkan petualangan yang menyenangkan. Kendaraan yang agak ramai di depan dan belakang kami pun mungkin merasakan hal yang sama.

Acara mengocok perut sudah dimulai lagi. Setiap beberapa meter, bis kami harus melambat dan berjalan pelan sekali mengikuti bentuk jalan yang berlubang. Terkadang supir harus memilih jalan yang ‘agak’ rata untuk dilalui agar tidak terjadi keadaan yang tidak diinginkan. Misalnya terjebak di dalam lubang karena bagian kerangka mobil terendah tidak mampu melewati dinding bagian atas lubang. Perlu diketahui, ada banyak lubang yang kedalamannya mencapai 30-50 centimeter. Untuk ukuran bis-bis besar seperti yang sedang aku naiki ini, mungkin tidak akan mengalami kejadian terjebak di dalam lubang karena ukuran diameter ban yang cukup besar dan lebih tinggi dari jarak kedalaman lubang. Rata-rata ukuran diameter ban untuk bis besar adalah 1 meter. Namun, sang supir bis kami sangat berhati-hati pada setiap lubang yang kami lewati tidak terkecuali lubang-lubang kecil. Pernah ada kejadian, kami melewati mobil truk kecil yang sedang terjebak di dalam lubang yang lumayan dalam dan besar. Kesulitan yang kami hadapi menjadi ganda, yakni bagaimana melewati kendaraan yang berada di tengah jalan tanpa ikut terjebak juga di lubang yang lain. Sang supir cukup melancarkan strategi karena baik di samping kanan maupun kiri kendaraan malang tadi sempit dan berlubang juga. Untung saja di sisi kanan maupun kiri jalan bukan jurang melainkan padang rumput. Akhirnya, kami mampu melewati hambatan tersebut tanpa terjebak di dalam lubang maupun jatuh ke jurang. Alhamdullillah dan cukup seru juga.

Sekilas aku membaca papan nama dari Pengadilan Negeri Agama Kabupaten Sanggau, ternyata jalan yang aku lalui bernama Jalan Jenderal Sudirman. Pikiranku membandingkan jalan Jenderal Sudirman yang ada di Jakarta. Memang jauh berbeda jika perbandingannya pada faktor kondisi jalan raya dan bangunan-bangunan di sepanjang jalan tersebut. Jalan Jenderal Sudirman Jakarta merupakan jalan protokol yang menghubungkan jalan-jalan alternatif dari daerah pinggir Jakarta menuju daerah pusat Jakarta. Selain itu, jalan Jenderal Sudirman Jakarta merupakan pembuka jalan menuju jalan protokol kedua yakni jalan Jenderal M.H. Thamrin yang terkenal dengan kerapatan gedung-gedung perkantoran yang bertingkat lebih dari 5 lantai. Dikatakan pembuka jalan bagi masyarakat yang datang dari arah selatan Jakarta dan sekitarnya. Bagi yang datang dari arah utara Jakarta, mereka langsung bisa masuk ke jalan M.H. Thamrin. Mereka bisa melewati jalan Jenderal Sudirman jika mereka akan menuju selatan Jakarta. Oleh karena sebagai jalan protokol yang dilalui oleh baik masyarakat menengah ke bawah maupun menengah ke atas, jalan selalu dirawat agar setiap pengendara merasa nyaman. Segi tata keindahan kota pun menjadi alasan agar jalan protokol selalu bagus dan asri.

Sedangkan jika dibandingkan dengan jalan Jenderal Sudirman yang terletak di Kelurahan Bunut Kota Sanggau Kabupaten Sanggau, kondisi jalan raya ini begitu banyak lubang kecuali saat memasuki pusat kota Sanggau. Panjang jalan ini pun sangat panjang. Menurut ukuran, jalan ini diperkirakan 2-3 kali lipat jalan Jenderal Sudirman di Jakarta. Perbedaan lainnya adalah bentuk dan jenis bangunan dan pemandangan di sisi kanan kiri jalan. Bangunan di sepanjang jalan ini tidak terlalu padat dan banyak di penuhi oleh padang rumput dan hutan kecil. Sesekali ditemukan rumah penduduk baik yang masih tradisional maupun yang sudah modern. Tradisional disini diukur dari bahan bangunan yang didominasi oleh kayu. Kebanyakan dari rumah tersebut masih mempertahankan bentuk aslinya yakni rumah panggung khas pulau Kalimantan. Sungguh perpaduan dunia modern dan tradisional yang mengagumkan. Lebih mengagumkan dan menakjubkan lagi, aku menemukan perpaduan teknologi dengan kesederhanaan yang cukup kontras. Tidak hanya di Sanggau, aku menemukan begitu banyak fenomena ini di berbagai daerah yang aku lalui. Fenomena tersebut adalah jumlah rumah kayu yang memiliki antena parabola begitu banyak. Aku sempat berkata “Wah!”. Di dalam benakku, berapakah harga antena parabola itu? Murahkah? Ataukah kebutuhan memiliki antena parabola melebihi kebutuhan untuk merenovasi rumah? Mungkin saja aku terlalu memandang sebelah mata penghuni rumah-rumah kayu tersebut. Walau dari tampak luar rumah kayu tersebut sederhana dan terkesan lusuh, mungkin saja kekayaan penghuninya tidak kalah dengan orang yang berada.

Selain rumah penduduk, aku juga melihat bangunan-bangunan lainnya. Satu kali aku melewati Taman Makam Pahlawan yang bernama Patriot bangsa. Kalau aku sempat mampir mengunjungi TMP tersebut, aku akan dapat mengetahui pahlawan-pahlawan nasional yang tentunya berasal dari putra-putri daerah Sanggau atau Kalimantan Barat. Selain itu, aku juga melihat kantor KPPN Sanggau yang berdiri megah dan indah di atas dataran tinggi. Kalau aku perhatikan ternyata banyak sekali bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah yang lebih tinggi dari jalan raya. Mungkin dapat dikatakan bangunan-bangunan tersebut didirikan di atas bukit. Ada satu tempat yang membuat aku takjub. Masih di sepanjang jalan Jenderal Sudirman, aku melihat sekelompok orang yang sedang duduk di tebing batu. Sepanjang aku melewati daerah tersebut, aku memerhatikan kegiatan yang sedang dilakukan oleh sekelompok orang tersebut. Ternyata, mereka sedang mengikis tebing untuk mengambil bongkahan-bongkahan batu. Bongkahan-bongkahan batu itu dikumpulkan untuk kemudian dijadikan bahan dasar bangunan seperti kerikil, pasir, dan batu pondasi. Aku sempat memerhatikan ekspresi masing-masing orang di dalam kelompok tersebut. Dengan menahan terik matahari dan panasnya hawa yang dihantarkan bebatuan di bawah kaki dan di sekeliling mereka, mereka harus bekerja dengan semangat agar bisa mendapatkan uang. Terlihat kelelahan di wajah mereka yang harus mereka kalahkan. Aku tak habis pikir rasanya dalam posisi mereka. Sungguh jenis pekerjaan yang sangat berat. Mengapa pemilik usaha harus menggunakan tenaga manusia sementara sudah banyak mesin penggali yang lebih cepat dan mudah digunakan? Mungkinkah dengan alasan bahwa membayar buruh lebih murah dibandingkan dengan mengeluarkan biaya operasional mesin penggali? Lalu, apakah tidak akan habis jika bukit itu terus dikikis setiap hari? Aku sungguh tidak mengerti mengenai hal-hal yang berhubungan dengan bisnis seperti itu. Aku hanya mengerti nasib para buruh yang malang itu.

Selain perbedaan yang dimiliki, kesamaan dari fungsi jalan Jenderal Sudirman di Sanggau dengan di Jakarta adalah sebagai jalan utama. Dikatakan jalan utama karena jalan tersebut selalu dilalui oleh kendaraan yang lalu lalang ke berbagai tujuan. Jika orang ingin bepergian ke daerah Sanggau, Sekadau, Sintang atau Kapuas Hulu, ia harus melewati jalan tersebut. Dengan kata lain, jalan Jenderal Sudirman merupakan salah satu jalan utama yang berfungsi sebagai jalan penghubung antara Kabupaten Sanggau dengan kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Sekadau, Kabupaten Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu. Begitu pula dengan arah sebaliknya, yakni Kabupaten Landak, Kabupaten Pontianak sampai ke Kota Pontianak.

Setelah sampai di pusat Kota Sanggau, bis kami berbelok menuju jalan A. Yani. Kondisi yang hampir sama dengan jalan A. Yani Pontianak, jalan A. Yani di Sanggau ini ramai dan dipenuhi oleh pertokoan dan gedung-gedung perkantoran baik swasta maupun pemerintah. Kami dapat bernafas lega dan menikmati perjalanan sebentar karena tidak lagi melewati jalan berlubang. Dari jalan A. Yani ini mengantar kami ke suatu jembatan yang melintang di atas sungai Sekayam yang bermuara ke sungai Kapuas. Dari jembatan tersebut, sekali lagi aku dapat melihat hamparan tanaman kelapa sawit di lokasi perbukitan di seberang sungai. Sungguh pemandangan yang menakjubkan. Sama seperti Kabupaten Landak, Kabupaten Sanggau dan Sintang juga banyak dijadikan lahan perkebunan tanaman kelapa sawit. Selain Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan termasuk daerah perkebunan tanaman kelapa sawit yang terbanyak. Oleh karena tingginya aktivitas perkebunan tersebut, terdapat dampak negatif yang sangat terasa oleh masyarakat setempat maupun pemakai jalan. Contoh konkritnya adalah rusaknya jalan raya. Oleh karena kontur tanah yang kebanyakan merupakan tanah gambut dan selalu dilalui oleh kendaraan besar dan truk-truk pengangkut yang membawa beban begitu berat, jalan pun dengan mudah rusak dan berlubang. Apalagi jika musim hujan tiba, jalan raya seperti kubangan hewan yang sangat besar. Jalan berlubang yang dipenuhi dengan lumpur berwarna cokelat. Lumpur tersebut cukup indah untuk menghias setiap kendaraan yang melewatinya.

Analisaku tentang penyebab kerusakan jalan tersebut dibuktikan dengan iring-iringan truk kelapa sawit yang berada di depan bis kami. Tidak hanya satu melainkan 5 truk sekaligus berjalan beriringan menuju suatu tempat. Entah apa nama tempat itu. Yang aku tahu hanyalah iringan tersebut memasuki kawasan perkebunan sawit. Sepanjang jalan sebelum sampai di kawasan tersebut, menjadi pengalaman yang unik tersendiri buatku. Bis kami harus berjalan perlahan mengikuti rombongan truk. Sesekali supir ingin mendahului dari arah kanan, selalu saja tidak diberi kesempatan oleh truk di depan bis kami maupun truk-truk lainnya yang berada di depan. Apalagi ketika kami melewati jalan yang sempit di Desa Semuntai Kecamatan Mukok, bis kami tetap saja kehilangan kesempatan untuk mendahului. Aku heran kenapa bisa seperti itu. Truk-truk itu berjalan perlahan karena muatan berupa bongkahan buah kelapa sawit yang menggunung. Namun uniknya, muatan tersebut tidak dilindungi dengan pembungkus atau minimal jaring untuk mencegah agar muatan tersebut tidak jatuh. Aku sangat khawatir ada bongkahan kelapa sawit yang jatuh dan menimpa bis kami sehingga mengganggu perjalanan kami. Apalagi ketika jalan menanjak, hatiku berdebar sambil terus mengamati bongkahan-bongkahan kelapa sawit di atas truk di depanku. Belum lagi ketika kami melewati daerah bertebing, kekhawatiranku semakin bertambah. Untung saja tidak terjadi apa yang aku khawatirkan. Truk-truk tersebut tidak memberi jalan untuk didahului karena di antara supir truk itu ada semacam persaingan. Ada semacam bonus bagi mereka yang lebih cepat sampai di tempat tujuan. Demikian informasi yang aku dapat dari percakapan supir dengan satu di antara penumpang bis. Unik dan lucu juga karena belum pernah aku menemukan hal semacam itu. Lambatnya iring-iringan truk cukup membuat kami kesal. Sementara kami diburu waktu untuk cepat sampai sebelum malam tiba, rombongan truk tetap berjalan pelan. Ketegangan bertambah setiap kali kami dan rombongan truk itu harus melewati lubang dengan selamat. Namun akhirnya, kekesalan kami berakhir ketika kami akan sampai di Kabupaten Sekadau. Satu per satu rombongan truk masuk ke dalam kawasan perkebunan sawit yang terletak di perbatasan Kabupaten Sanggau dan Kabupaten Sekadau. Setelah truk terakhir masuk, barulah kami bisa bernafas lega. Sang supir pun langsung menancap gas.

Waktu telah sampai pada pukul 15:45 sore. Hari mulai gelap ditambah dengan kondisi jalan yang dikelilingi tebing bukit dengan lebatnya pepohonan dan semak belukar. Ketika bis melewati daerah yang agak terbuka dan ramai oleh rumah penduduk, ada pemandangan unik yang tertangkap oleh mataku. Di antara rumah penduduk, ada satu rumah kayu yang di atas kolam. Aku berpikir, kenapa si pemilik rumah melakukan hal tersebut. Mungkinkah untuk memanfaatkan lahan yang sedikit untuk dibangun tempat tinggal dan kolam ikan? Sekilas pengamatanku, ada indikasi ke arah itu. Kolam itu berwarna hijau oleh tumbuhan air yang sepertinya sengaja ditanam untuk makan ikan. Selain itu, aku juga sempat melihat ada seorang laki-laki yang sedang menaburkan sesuatu ke dalam kolam itu seperti layaknya orang yang sedang memberi makan ikan. Berdasarkan hasil pengamatanku tersebut, aku namakan rumah itu dengan ‘rumah kolam’.

Selain pemandangan unik tersebut, aku tidak punya lagi hal-hal unik lainnya karena kelelahan yang menyerang mataku. Sesekali aku terbangun untuk tidur kembali. Di sela-sela bangun dan tidurku, aku sempat melihat Taman Makam Pahlawan Syuhada Bangsa Sintang. Namun, aku tidak bisa bercerita banyak tentang TMP tersebut karena rasa kantukku belum hilang. Hatiku lega karena sudah sampai Sintang, namun tetap saja bis belum berhenti sampai aku terbangun. Aku bertanya kepada kawanku, “Mbak, kita sudah sampai Sintang kan? Kok, enggak berhenti dari tadi ya?”. Temanku pun bingung karena ini juga kali pertama untuk dia ke Sintang. “Mboh, Nit. Aku juga enggak tahu.” Aku tak perlu komentar maupun bertanya lagi karena sudah jelas. Aku hanya perlu menunggu dan mencoba memperhatikan jalan-jalan dan bangunan-bangunan yang diterangi cahaya lampu.

Suasana Kota Sintang di malam hari cukup ramai. Apalagi waktu itu hari masih belum cukup jauh malam. Tepatnya sekitar pukul 19:30 malam. Bis kami melewati jalan yang naik turun. Satu kali kami melewati jalan menanjak kemudian melewati tikungan yang berbentuk tapal kuda. Di dalam benakku, aku baru saja melewati jembatan yang di bawahnya mengalir sungai Kapuas. Wah, aku tak sabar ingin melihatnya esok pagi. Lamunanku terhenti oleh pertanyaan supir yang menanyakan aku dan kawanku hendak turun dimana. Menurut informasi dari kantorku, aku dan kawanku harus menginap di Hotel Sakura. Hotel tersebut tidak sulit ditemukan karena berlokasi dipinggir jalan utama yang dilalui kendaraan umum. Kami pun tiba dan turun dari bis tepat di depan hotel tersebut. Alhamdulillah, akhirnya aku menginjakkan kakiku di Sintang.

Hotel Sakura, sebuah hotel yang cukup nyaman akan fasilitas yang disediakan untuk konsumen. Aku merasa cukup menikmati menginap di sana. Dengan harga standar, aku sudah bisa tidur nyenyak dan melepaskan penatku. Menurut kawanku yang asli berasal dari Sintang, hotel ini dimiliki oleh satu di antara orang terkaya di Sintang. Sungguh menjadi suatu kebanggaan buat aku untuk mengetahui hal itu. Bukan promosi tetapi memang seperti itulah yang aku rasakan. Tidak ada masalah yang aku dapat dari hotel tersebut. Tidak seperti waktu aku menginap di satu hotel di daerah Ngabang. Aku merasa tidak nyaman dengan sarana air yang dimiliki hotel tersebut. Rasa air itu agak aneh, berbau dan membuat kulit menjadi kering. Terutama kulit muka, kulitku menjadi terik dan kering seperti akan pecah. Sarana air di hotel tersebut tidak menyegarkan seperti air yang disediakan di hotel Sakura. Untung saja waktu itu aku membawa pelembab kulit sehingga kulitku tidak terlanjur rusak.

Esok paginya, hari Kamis tanggal 19 Maret 2009, aku dan kawanku harus bangun dan menyiapkan diri untuk melaksanakan tugas. Kami harus segera siap karena kami sudah dipanggil kepala kantor yang menginap juga di hotel Sakura untuk sarapan pagi di suatu tempat di luar hotel. Kepergianku ke Sintang ini memang merupakan tugas kantor. Kami menginap di hotel yang sama dengan kepala kantor dan panitia penyuluhan bahasa dari kantor kami. Kami sebagai anggota tim UKBI bertugas memberikan sosialisasi UKBI kepada guru-guru SMP/MTs, SMA/SMK baik swasta maupun negeri. Acara tersebut akan dibuka oleh kepala kantor kami pukul 09:00 pagi. Oleh karena itu, sekitar pukul 07:00, kami diburu-buru oleh perintah kepala kantor yang sudah menunggu di mobil untuk pergi mencari sarapan pagi. Tentu saja kami tidak bisa menyanggah atau berlama-lama di kamar hotel. Akhirnya kami pun pergi ke suatu tempat di sekitar pasar. Aku tidak tahu apakah tempat itu bisa disebut pasar atau hanya pertokoan. Yang pasti, memang lebih banyak pertokoan dibandingkan bangunan lainnya. Menikmati pagi sambil sarapan bubur di Sintang mengingatkanku ketika aku berkunjung ke Kota Cirebon. Bentuk bangunan dan suasana jalan raya mirip sekali dengan bentuk bangunan dan suasana jalan raya di Kota Cirebon. Seketika aku merasa kangen dengan kota itu karena kota itu sangat berkesan. Liburan di Kota Cirebon termasuk liburan yang menyenangkan dalam hidupku. Selain mengingatkanku akan Kota Cirebon, Sintang pagi itu juga mengingatkanku jauh ke belakang ketika umurku masih 9 tahun. Waktu itu aku mengunjungi rumah kakekku di Purwokerto, Jawa Tengah. Suasana dan bentuk bangunan juga sangat mirip. Ada becak yang mengangkut ibu-ibu yang akan ke pasar. Hanya saja aku tidak menemukan andong, delman atau dokar di Sintang.

Setelah selesai sarapan, kami melesat menuju lokasi acara kami diselenggarakan yakni Gedung Cadika di kompleks perkantoran Dinas Pendidikan Kabupaten Sintang. Dalam perjalanan menuju gedung Cadika, aku mencoba mengingat-ingat suasana kota ketika aku sampai di kota ini. Ada satu hal yang membuat aku kaget. Ternyata jalan yang berliku seperti tapal kuda itu bukan jembatan. Jalan itu melingkari sebuah lapangan rumput yang sedang digunakan oleh sekelompok anggota TNI yang sedang berbaris. Ketika aku memandang ke arah berlawanan dari lapangan tersebut, aku melihat puncak sebuah bukit. Bukit itu dikenal dengan nama ‘Bukit Kelam’. Mengapa dinamakan Bukit Kelam? Mungkin karena warnanya yang gelap. Konon bukit itu merupakan bukti nyata dari sebuah cerita rakyat Sintang pada zaman dahulu. Bukit itu mengingatkanku akan bukit yang mempunyai warna yang berlawanan dengan warna Bukit Kelam. Di daerah Ciseeng, Parung Bogor yang masuk dalam wilayah provinsi Jawa Barat. Bukit itu bernama ‘Gunung Kapur’. Bukit tersebut berwarna putih dari puncak sampai bagian kakinya. Warna putih yang dimiliki bukit tersebut merupakan batuan kapur yang dapat mengeluarkan air belerang di setiap sumber mata airnya. Sungguh dua keindahan alam yang menakjubkan.

Akhirnya kami sampai juga di Gedung Cadika. Di dalam gedung, kami sudah ditunggu oleh beberapa peserta yang sudah berada di dalam aula. Waktu baru saja pukul 08:00 tetapi peserta sudah ada yang datang. Aku salut akan kesungguhan orang-orang daerah untuk mengikuti acara dari kantor kami sebagai perwakilan dari kantor pusat di Jakarta. Kesungguhan seperti itu pun aku temukan juga ketika aku menjalankan tugas yang sama di Kabupaten Landak. Mungkin saja disebabkan oleh demam sertifikasi guru yang melanda Indonesia sampai ke pelosok daerah akhir-akhir ini. Walaupun begitu, mereka tetap mengikuti acara dengan serius dan kooperatif. Acara kami sangat sukses. Aku menganggap acara tersebut sukses karena antusias peserta yang tinggi. Hal ini terbukti pada waktu sesi pertanyaan dan sesi mengerjakan soal-soal UKBI. Pada waktu mereka diberi kesempatan bertanya, mereka sangat antusias dengan berbagai macam pertanyaan. Ada juga yang menawarkan kerjasama untuk mengadakan UKBI untuk siswa-siswa mereka. Tim UKBI menganggap hal ini merupakan tanggapan yang positif dan bukti keberhasilan sosialisasi yang kami lakukan. Selain itu, mereka juga sangat antusias dan serius mengerjakan tes prediksi UKBI yang kami berikan. Ada peristiwa lucu yang sempat aku abadikan dalam foto. Ada beberapa peserta yang tidak mendapatkan meja. Solusi yang mereka lakukan adalah mengambil kursi yang kosong untuk dijadikan meja. Tentu saja, posisi duduk mereka tidak lagi teratur dan rapi. Suasana seperti itu membuatku tersenyum di dalam hati. Hari itu, guru-guru bertindak persis seperti anak didik mereka. Aku sebagai pengawas tetap membiarkan tindakan mereka karena memang fasilitas gedung yang kurang menyediakan meja untuk tiap-tiap peserta. Setelah sesi mengerjakan soal, acara penutupan pun tiba. Aku lega sekaligus berdebar-debar. Aku lega karena acara yang sudah aku dan tim UKBI persiapkan berhasil dengan baik. Namun, aku berdebar-debar karena aku akan kembali melewati panjangnya perjalanan kembali ke Pontianak. Untung saja tim UKBI diberi kesempatan untuk ikut mobil kantor sehingga aku tidak harus menggunakan kendaraan umum. Aku sangat senang jika tidak harus menggunakan kendaraan umum. Biasanya kami akan banyak berhenti untuk beristirahat dan meluruskan kaki-kaki kami yang pegal jika kami ikut mobil kantor. Apalagi supir mobil kantor adalah teman kami sendiri.

Walaupun tidak nyaman dalam perjalanannya, kunjungan singkatku di Kota Sintang membuatku ingin kembali mengunjunginya lain waktu. Kota itu banyak mengembalikan kenanganku di kota lain. Selain kota Cirebon dan Purwokerto yang pernah aku sebutkan, kota Sintang juga mengingatkan aku akan kota hujan. Suasana yang sejuk dan kota yang ramai walaupun berada di tengah-tengah perbukitan, kota Sintang mirip sekali dengan kota Bogor. Kenangan itu menambah rasa rinduku akan pulau Jawa. Pengalaman seru baik dalam perjalanan ke kota Sintang maupun di kota itu sendiri, membangkitkan rasa keingintahuanku akan daerah-daerah lainnya di Kalimantan Barat atau lebih luas lagi di Pulau Kalimantan. Selain ingin membuktikan akan anggapan bahwa pulau Kalimantan itu banyak hutannya, aku juga ingin menemukan tempat-tempat yang mampu mengembalikan kenangan-kenanganku di tempat lain.

Perjalanan ke Sintang, 18-19 Maret 2009

No comments:

Post a Comment