Monday, April 6, 2009

On the Way to Soekarno-Hatta

“Ayo, Pah. Cepet, Pah!”

“Iya, Mah. Ini udah ngebut.”

Bapakku terus menancap gas dan selalu mencari celah untuk terus mendahului kendaraan lain. Kecepatan tinggipun tak segan-segan bapakku capai. Posisi jalur cepat selalu diambil walaupun sekali-kali mencari dimanapun ada celah kosong lainnya jika terjadi kemacetan di jalur cepat. “Tin..tin..tin,” klakson mobil berbunyi setiap bapak harus mendahului kendaraan lain dan itu seringkali terjadi sepanjang perjalanan. Mama yang duduk di sebelah bapak panik dan selalu berkomentar tentang semrawut kondisi jalan. Bapak yang sejak tadi fokus di belakang setir pun ikut tegang dan panik.

Siang itu, keluargaku sedang mengantarku ke bandara Soekarno-Hatta. Aku harus kembali ke Pontianak tanggal 28 Februari. Aku tidak bisa mengulur waktu pulkamku karena tanggal 1 Maret harus kembali bekerja. Biasanya, cukup waktu dua jam untuk jarak tempuh sekitar 30 km dari daerah Ciputat ke bandara lewat jalur belakang yakni rute BSD (Bumi Serpong Damai) Tangerang. Selain bukan jalan utama yakni rute Ciputat-Bandara melalui Semanggi, jalur BSD biasanya jarang sekali macet. BSD termasuk jalan alternatif ke bandara Soekarno-Hatta dan termasuk jalur lingkar luar Jakarta bagian Barat. BSD termasuk dalam wilayah Kabupaten Tangerang yang berbatasan dengan wilayah Jakarta Barat. Di sepanjang jalan yang aku lewati, banyak sekali pabrik-pabrik dan perumahan rakyat elit. Memang benar, Tangerang terkenal dengan BSD-nya karena merupakan perumahan rakyat elit yang terbesar di Tangerang. Perumahan di wilayah lain yang sekelas BSD seperti Pantai Indah Kapuk, Pondok Indah, Bintaro dan Kelapa Gading merupakan perumahan elit yang menyediakan beragam fasilitas kehidupan. Bagaikan mendirikan sebuah negara di dalam sebuah negara. Masyarakat yang tinggal di perumahan-perumahan tersebut merasa bangga jika disebut sebagai warga BSD, Pondok Indah atau Kelapa Gading. Rasa bangga itupun menular kepada masyarakat yang tinggal di sekitar perumahan-perumahan tersebut. Sampai ada satu singkatan yang menurut saya lucu sampai sekarang. Paman saya yang tinggal di sekitar Jurangmangu misalnya akan menyebutkan BSD jika ia ditanya dimana ia tinggal. Bukan Bumi Serpong Damai melainkan “Bintaro Sonoan Dikit.”

Entah mengapa hari itu lebih dari sepuluh titik kemacetan yang terhitung dari Ciputat sampai tempat tujuan. Waktu dua jam sungguh-sungguh tidak cukup. Kami sekeluarga seperti dikejar badai, diburu waktu dan diterjang kepanikan.

“Aduh, pake macet lagi. Tuh mobil ngapain sih. Pelan banget,” Mamaku benar-benar panik.

“Mamah berisik banget sih. Udah mamah diem ajah.”

“Kenapa si, Pah. Mamah ngomong kok gak boleh?”

“Bukan gak boleh. Papah kan udah usaha. Mamah bikin Papah panik ajah. Dah mamah gak usah beli rambutan ajah.”

“Loh kok jadi ngomongin rambutan. Emang siapa yang bilang jadi beli rambutan. Kan, udah Mamah bilang di rumah tadi, kalo sempet beli kalo ga ya udah.”

“Bapak kira Mamah tetep mo maksain beli rambutan.”

“Udah diem.”

Tidak lama, rombongan kendaraan di depan kami berjalan perlahan.

“Aduh, di depan jalannya rusak lagi.”

“Kenapa Papah lewat sini?”

“Ya lewat sini kan langsung ke BSD, Mah. Terus gampang lewat belakang bandara. Justru ini jalan yang paling deket dan cepet.”

Ketegangan yang dirasakan orangtuaku semakin menambah urat keteganganku meninggi. Gelisah yang sejak kami berangkat dari rumah tadi bisa kutekan, kini semakin meninggi. Panas dingin mulai merasuki sekujur tubuhku. Kepalaku mulai terasa pusing. Disusul dengan rasa mual dari dalam perutku karena aku sudah menahan buang air kecil selama kurang lebih satu jam perjalanan. Rasa pusing di kepala dan mual di perutku membuat mukaku semakin pucat. Itu yang dikatakan adikku, Yani, ketika ia memperhatikanku. Ia duduk disebelahku. Di sebelahnya, Puji, adik iparku memegang anaknya, Ezra yang sedang sibuk meloncat-loncat di atas pangkuan ibunya. Ezra, keponakanku yang pertama, baru saja berulangtahun yang pertama pada tanggal 22 Januari lalu. Aku bersyukur karena kepulanganku kali ini bertepatan dengan peristiwa penting untuk keponakanku tersayang. Aku bisa menghadiri acara ulang tahunnya, mencium pipinya dan mengatakan, “Selamat ulang tahun, nangnung. Ini kado dari bude, sayang.” Tawa dan segala tingkah lucunya tidak membuatku bisa melupakan rasa tegang yang tetap merasuki tubuh dan otakku.

Setelah memasuki BSD hatiku mulai tenang karena kupikir akan tidak menemukan kemacetan lagi. Namun, tetap saja. Di dalam komplek besar itupun tetap macet dan macet.

“Sekarang jam berapa, Nit?”

“Udah jam 12, Pak.”

“Mudah-mudahan bisa ke kejar deh sampe jam 1. Jangan lupa doa, Nit.”

“Iya, Pak.”

Sambil menjawab pertanyaan Bapak, perasaanku semakin tegang. Ngantuk tapi tidak bisa tidur. Rasa pusingku makin menjadi. Entah sepucat apa mukaku waktu itu. Aku harus sampai di bandara jam satu untuk check-in. Pesawatku berangkat tepat jam 2. Namun, perjalanan yang masih harus aku tempuh sekitar 15 km lagi. Mungkin cukup waktu jika memang tidak ada macet lagi. Kenyataan berkata lain. Titik kemacetan terjadi terutama ketika kami melintasi lampu merah, pasar dan mal. Suasana kami yang tadinya penuh canda dan tawa berubah menjadi kesunyian dan ketegangan. Ezra pun ikut lelah dan tertidur di pangkuan ibunya.

“Lain kali jangan dipasin lah kalo mo ke bandara.”

“Papah sih. Pake kekeuh mo jalan jam 11.”

“Iya. Aku emang salah terus.”

“Udah, Pak..Mah. Tenang..tenang.” Padahal aku sendiri tidak tenang.

Akhirnya, kendaraan kami memasuki pintu gerbang bandara Soekarno-Hatta. Waktu hampir mencapai jam setengah 2. Dengan panik, bapakku langsung atur apa yang harus aku lakukan setibanya di terminal keberangkatan nanti.

“Nanti, kamu langsung ambil troli ya. Nanti, bapak turunin barang kamu. Semua turun trus Bapak parkirin mobil.”

“Papah, gak usah parkir mobil. Kita cuma sebentar ini turunnya.”

“Gak usah Mah. Semua gak usah turun. Bapak aja yang keluarin barang. Nita juga gak usah ambil troli. Nita langsung aja masuk bawa barangnya.”

“Nanti berat, Nit.”

“Gak apa-apa, Pak. Gak berat kok. Lagian repot pake troli, Pak. Biar cepet.”

Perdebatan pun berakhir dengan keputusanku. Aku masuk dengan tergopoh-gopoh membawa barang dengan total sekitar 15 kg di tangan kanan dan kiriku. Di dalam terminal sepi. Semua penumpang sudah boarding. Aku termasuk dalam daftar penumpang yang sedang ditunggu. Rasa pusing dan mual sudah hilang karena keteganganku sudah mencapai anti klimaks. Sampai di ruang tunggu, ternyata aku disuruh bergabung dengan sekelompok penumpang yang sedang menunggu bis penjemput yang akan mengantar kami ke lokasi pesawat. Agak tenang, ternyata tidak cuma aku yang terlambat. Kira-kira ada 10 orang. Phew…aku menyeka keringatku. Aku belum ketinggalan pesawatku. Sampai di dalam pesawat, aku langsung mencari kursiku dan tidak berani menatap wajah-wajah penumpang lain yang mungkin kesal karena sudah menunggu kami begitu lama. Setelah menemukan tempat dudukku dan menaruh barang di dalam bagasi, hal yang pertama aku harus lakukan adalah …TOILET!.....

28 Februari 2009

No comments:

Post a Comment